twitter


Aku tidak tahu kapan tepatnya dia mulai hadir dalam hidupku. Mungkin sejak kali pertama aku menginjakkan kakiku di tempat kostku sekarang. Tepat setahun yang lalu, aku datang ke kota ini untuk melanjutkan pendidikanku setamat SMA. Aku yang baru pertama kali datang ke kota besar, tentu saja bingung saat itu. Bisa dibilang aku datang ke kota ini hanya dengan modal nekat. Orangtuaku di kampung tidak setuju dengan keputusanku untuk melanjutkan pendidikan. Mereka ingin aku segera menikah setamatnya aku SMA. Aku tidak sependapat dengan mereka, aku masih punya mimpi yang ingin aku gapai. Orangtuaku tentu saja marah, tapi aku tetap bertahan dengan pendirianku. Dengan tanpa restu orangtua dan uang tabunganku yang tidak seberapa aku pun pergi ke kota. Beruntung dalam perjalanan aku berkenalan dengan seorang bapak tua. Pak Anwar nama beliau. Aku berkenalan dengan beliau di dalam bis yang membawaku menuju kota. Melihat kondisiku yang serba kekurangan, Pak Anwar sepertinya merasa iba. Beliaulah yang membawaku menemui kenalannya yang memiliki usaha kost. Pemilik kost itu menawariku sebuah kamar kecil tepat di ujung lorong. Kamar kost itu sudah sejak lama kosong, tidak ada satupun orang yang betah belama-lama menempati kamar tersebut. Tetapi dengan kondisi keuanganku, aku berusaha mengabaikan semua pikiranku tentang kejanggalan kamar tersebut. Harga yang ditawarkan sangat miring, mungkin setengah dari harga sewa kamar kost pada umumnya. Tanpa pikir panjang aku pun segera mendiami kamar tersebut.

Bulu kudukku seketika meremang ketika pertama kali aku memasuki kamar itu. Hawa dingin menerpa wajah dan leherku. Untuk sesaat aku menggigil. Kurapatkan jaketku dan mulai membereskan barang-barangku. Mencoba mengalihkan perhatianku akan kesan mistis kamar ini, aku pun mengambil buku dari dalam tasku dan membacanya. Akupun larut dalam kisah yang kubaca. Sayup-sayup dari luar aku mendengar suara angin berhembus. Sunyi, satu kata itulah yang dapat menggambarkan suasana pada malam ini. Mataku tiba-tiba basah, aku teringat ayah dan ibuku di kampung. Suasana di kamar ini sangat dingin, tidak seperti rumahku yang selalu hangat. Aku rindu pada celoteh dan omelan ibuku, juga rindu pada sosok diam ayahku yang sedang duduk merokok di beranda depan. Dalam hati aku memanjatkan doa, agar tuhan selalu memberikan kesehatan dan kebahagiaan kepada orangtuaku. BRAKK!! Tiba-tiba aku dikejutkan oleh jendela yang terbanting oleh kerasnya tiupan angin. Setengah terhenyak, aku pun bangkit untuk menutup jendela itu. Diluar sedang bulan purnama, menambah mistisnya malam ini. Bulu kudukku merinding. Segera aku tutup jendela kamarku dan tidak ada lagi yang lebih aku inginkan malam itu, selain masuk ke dalam selimut. Tiba-tiba saat aku melihat ke dalam cermin, aku merasa sekujur tubuhku beku. Dari dalam cermin ia menatapku. Gadis itu berwajah pucat dan muram. Sepucat bulan diluar sana. Ia menatapku dengan sepasang mata beningnya yang dalam. Mata terindah yang pernah kulihat, Sangat dalam sehingga aku merasa seakan-akan tenggelam saat aku balas menatap sepasang mata itu. Dan saat aku berbalik ke arahnya sosoknya seketika lenyap, meninggalkanku dengan sejuta tanya.

Tabitha, begitu orang-orang memanggilnya. Gadis itu cantik serupa bulan. Pucat dan muram. Misterius, begitulah kesan para penghuni kost ini terhadapnya. Tidak ada yang tahu darimana ia berasal. Mereka hanya tahu, bahwa sejak kedatangannya, keadaan kost ini tidak pernah sama. Banyak lelaki yang tergila-gila dengannya. Dan para wanita setengah mati menahan cemburu karena kekasih mereka tidak kuasa menahan diri dari kuatnya pancaran pesona Tabitha. Tabitha tidak pernah suka menjadi pusat perhatian, sebisa mungkin ia menghindari itu. Tapi lama-lama ia terbiasa juga mendengar gunjingan miring orang tentang dirinya. Hal itu juga yang menyebabkan Tabitha kerap kali terlihat sendirian.

Dari balik rerumputan di ujung jalan, Komar memandang Tabitha yang berjalan menuju kampusnya. Hanya memandangnya tidak lebih dari itu. Komar tidak cukup berani untuk menyapanya. Setiap kali dia berniat mengulurkan tangannya untuk berkenalan, atau sekedar menawarkan tumpangan, langkahnya selalu saja terhenti. Pada akhirnya dia hanya mampu memandang Tabitha dari balik rerumputan. Menahan nafas saat Tabitha lewat tepat didepannya. Rutinitas ini selalu Komar lakukan setiap pagi sejak 3 bulan lalu. Keberangkatan Tabitha ke kampusnya setiap pagi merupakan suatu hal yang tidak akan bisa Komar lewatkan. Dia rela bangun lebih pagi lalu mandi mengabaikan dinginya pagi yang menusuk tubuh kurusnya dan memakai pakaian terbaiknya, berharap ada sepatah kata yang mungkin diucapkannya saat bertemu Tabitha. Tapi pada akhirnya dia hanya mampu menatap sosok Tabitha yang perlahan menjauh kemudian menghilang. Komar pun pulang ke rumahnya dengan kecewa, berharap keberanian akan menyapanya esok.

Sayup-sayup suara adzan subuh membangunkanku. Kusapu keringat di keningku, mimpiku malam tadi sungguh terasa ganjil. “Tabitha” tanpa sadar aku membisikkan nama gadis di mimpiku. Mimpi tadi malam bagiku tidak seperti mimpi-mimpiku yang lain. Entahlah, aku tidak tahu kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Rasanya mimpi itu bagai kejadian masa lampau yang pernah terjadi, begitu nyata. Aku bertanya-tanya tentang gadis dalam mimpiku. Seolah-olah aku merasa sangat mengenalnya. Wajahnya yang sepucat bulan terasa tidak asing bagiku. Aku pun mengabaikan pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepalaku. Perlahan aku beranjak dari tempat tidurku untuk mengambil air wudhu. Tiba-tiba aku melihatnya di ujung ranjangku. Dia menatapku dengan matanya yang hitam kelam. Mata yang sama dengan yang kulihat dalam cermin tadi malam. Mata yang sama dengan gadis dalam mimpiku. “Tabitha” dengan lirih kubisikkan namanya. Aku pun sadar, gadis dalam cermin tadi malam adalah Tabitha. Rasanya nafasku seketika tercekat.

Pengen coba bikin cerbung misteri, ini part 1 nya, dilanjutin kalau saya sudah gak sibuk :)
Writing this kind of stuff is always be my guilty pleasure :)